Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Agama Bukan Hanya Ritual Tapi Lahirnya Hati Nurani dan Empati

Agama Bukan Hanya Ritual Tapi Lahirnya Hati Nurani dan Empati


Semoga Allah memasukan dek anis maula ke jannah. Kejadian yang sangat memilukan seorang santri baru-baru ini di Aceh, yang seharusnya menjadi simbol ketulusan dalam menimba ilmu agama, justru menjadi korban pembunuhan tragis. Lebih memilukan lagi, pelaku kerap berasal dari lingkaran terdekatnya.

Ini bukan sekadar kasus kriminal biasa. Ini tamparan keras bagi kita semua bahwa pendidikan agama dan moral selama ini mungkin hanya berkutat pada hafalan teks, bukan menumbuhkan manusia yang berempati.

Pelajaran Agama diajarkan di dayah, pesantren, sekolah, dan pengajian, tapi mengapa kekerasan dan pembunuhan masih terjadi? Menurut saya Jawabannya "Kita terlalu sibuk mengajarkan cara beribadah,tapi lupa menanamkan mengapa harus berbuat baik kepada sesama". 

Kita juga terlalu sibuk mengajak santri hafal Alquran, membaca kitab, menghafal ratusan hadis, tapi bahaya jika tak pernah mengajak mereka refleksi tentang makna "menyakiti orang lain adalah dosa apalagi sampai menghilangkan nyawa", maka agama hanya jadi seragam, bukan jiwa. Moral jadi seperti robot terprogram saat di kelas, mati saat berhadapan dengan dunia nyata.  

Ini adalah kelemahan sistemik dalam dunia pendidikan. Keluarga dan masyarakat kerap menyerahkan pendidikan moral sepenuhnya ke institusi agama. Orangtua sibuk memastikan anaknya jadi "pintar ngaji", tapi abai mengajak diskusi tentang moral dan menghargai nyawa, mengelola amarah, atau menyelesaikan masalah tanpa kekerasan.

Jika ingin mencegah tragedi seperti ini terulang, kita harus berani berubah. Pendidikan agama perlu direformasi kurikulumnya harus menyentuh aspek mental emosional, bukan hanya kognitif. Setiap pelajaran fikih atau tafsir harus dikaitkan dengan realita, bagaimana menghadapi konflik, atau mengelola emosi. 

Keluarga harus aktif jadi "laboratorium moral" tempat anak belajar mendengar, bukan hanya menuntut. Masyarakat pun wajib menolak segala bentuk kekerasan, sekecil apa pun mulai dari bullying verbal hingga normalisasi main hakim sendiri.  

Jika kita masih menganggap pendidikan agama cukup dengan menggandakan jam pelajaran, tanpa membangun kesadaran bahwa "setiap nyawa berharga", maka bersiaplah menyaksikan lebih banyak tragedi yang memalukan akal sehat dinegeri syariat.

Mari berhenti selalu menyalahkan HP. Menyalahkan media sosial yang tak mampu kita bendung. Menyalahkan kemajuan teknologi, kita harus menghadapai itu semua. Masalahnya ada di cara kita memahami agama dengan sebagai dogma atau sebagai cinta? Sebagai ritual atau sebagai jalan hidup? Jawabannya ada di tangan kita sebelum nyawa berikutnya kembali melayang sia-sia.

Rizki Dasilva