Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Muhammadiyah Merawat Nalar Sehat, Bukan Penjara Akal

 Muhammadiyah Merawat Nalar Sehat, Bukan Penjara Akal 

Muhammadiyah Merawat Nalar Sehat, Bukan Penjara Akal


Di tengah gempuran narasi keagamaan yang kaku dan eksklusif, Muhammadiyah hadir seperti oase. Organisasi Islam yang satu ini tidak sibuk mengurung umat dalam dogma kaku, melainkan mendorong pemikiran kritis dan kerja nyata. Agama, bagi Muhammadiyah, bukan tembok yang membatasi akal, melainkan cahaya yang menerangi jalan kemajuan. Inilah yang membuatnya tetap relevan sejak lebih dari seabad lalu.

Muhammadiyah tidak memonopoli kebenaran. Ia mengajak siapapun tanpa harus bergabung dalam strukturnya untuk berpikir rasional, inklusif, dan berorientasi pada kemaslahatan. "Tak perlu jadi anggota, cukup punya akal sehat yang sama," begitulah kira-kira prinsipnya. Ini berbeda dengan kelompok-kelompok keagamaan yang gemar menyematkan label "sesat" pada yang tak sealiran.

Lihatlah ribuan sekolah, rumah sakit, dan lembaga sosial Muhammadiyah. Mereka tidak hanya mengajarkan ayat-ayat suci, tetapi juga sains, teknologi, dan nilai kemanusiaan universal. Agama di sini bukan sekadar ritual, melainkan inspirasi untuk membangun peradaban. Inilah bukti bahwa Islam bisa maju tanpa meninggalkan akar keilmuannya.

Namun, tantangan ke depan tidak kecil. Di era media sosial yang dipenuhi ujaran kebencian dan hoaks keagamaan, bisakah Muhammadiyah tetap menjadi benteng nalar sehat? Generasi mudanya harus terus didorong berpikir terbuka, bukan terjebak dalam fanatisme sempit yang justru bertolak belakang dengan semangat pendirinya, KH. Ahmad Dahlan.

Pada akhirnya, yang kita butuhkan hari ini bukanlah agama yang membelenggu, melainkan agama yang membebaskan seperti yang diperjuangkan Muhammadiyah. Nalar sehat adalah warisan terbaiknya, dan itu adalah modal besar bagi Indonesia untuk tetap maju, tanpa kehilangan jati diri.

Rizki Dasilva